Arafah Pramasto,S.Pd.
(Penulis Buku Kesejarahan Berdomisili di Palembang)
&
Noftarecha Putra,S.Pd.
(Mahasiswa Pascasarjana Univarsitas Negeri Yogyakarta asal Sumatera Selatan)
- Pendahuluan
Menurut Harold J. Laski, negara demokrasi biasanya dibangun melalui sistem kepartaian.[1] Partai politik adalah alat yang paling ampuh bagi manusia untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Pembuatan keputusan negara hanya mungkin dilakukan secara teratur melalui pengorganisasian secara melembaga berdasarkan tujuan-tujuan kenegaraan, yaitu oleh partai politik. Partai politik berfungsi sebagai struktur antara rakyat (civil society) dengan negara (state). Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik.[2] Carl J. Fredrich mendefinisikan partai politik sebagai sebuah kelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.[3]
Partai politik menjalankan peran penghubung yang strategis antara proses kenegaraan dengan warga negara. Bahkan Schattscheider mengatakan bahwa political parties created democracy (partai politik yang membentuk demokrasi), dan bukan sebaliknya.[4] Kepartaian yang terjadi di Indonesia, sudah mulai tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial Belanda, untuk hal yang menarik untuk disimak dalam buku ini, dimulai dari kepartaian ini dari sejak masa penjajahan Belanda. Kita akan mundur ke belakang (flash back) guna mengetahui perkembangan partai-partai politik pada masa penjajahan hingga awal kemerdekaan Indonesia. Partai-partai politik pada masa penjajahan merupakan embrio bagi tumbuh kembang kehidupan berpolitik sebagaimana kemudian juga terjadi setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
- Partai Politik Era Kolonial
Menurut catatan sejarah, sistem kepartaian di Indonesia mulai muncul pada dekade awal abad ini dibawah pengaruh Politik Etis kolonial Belanda, lahirnya kelompok cendekiawan baru Indonesia dan membanjirnya pemikiran baru islam serta gagasan-gagasan baru Eropa. Dalam suatu perubahan cepat pada tahun 1910 an dan 1920 an, gerakan golongan islam, kaum komunis, dan Nasionalis timbul tenggelam akibat permusuhan mereka terhadap Belanda dan permusuhan yang terjadi antara mereka sendiri.[5] Partai-partai tersebut nantinya akan menjalankan fungsi dalam mengagresikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk mencapai kemerdekaan, serta menjalakan fungsi rekruitmen politik yang memunculkan tokoh nasional dan wakil rakyat yang menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat / semacam “Parlemen” era Kolonial).[6]
Indische partij merupakan partai politik pertama di Indonesia yang menjadi pelopor timbulnya organisasi-organisasi politik di zaman pra kemerdekaan, baik organisasi politik yang bersifat ilegal maupun legal.[7] Mengingat ekstrimnya pemikiran partai ini kala itu, Indische Partij hanya bertahan 8 bulan saja, hal itu disebabkan karena ketiga pemimpin mereka masing-masing dibuang ke Kupang, Banda dan Bangka, dan kemudian diasingkan ke Nederland. Setelah beberapa tahun diasingkan, Ki Hajar Dewantara dan Dr. Setyabudi kembali ke Indonesia untuk mendirikan partai politik yang dinamakan sebagai National Indische Partij (NIP) pada tahun 1919 yang kemudian secara langsung mempelopori lahirnya beberapa partai politik lain yakni Indische Social Democratische Verening (ISDV), Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia dan Partai Indonesia Raya.[8] Partai-partai politik yang ada sebelum kemerdekaan tersebut, tidak semuanya mendapatkan status badan hukum dari kolonial Belanda. Bahkan, partai-partai tersebut tidak dapat beraktivitas secara damai dan lancar di zaman penjajahan Belanda. Maka dari itu, partai yang bergerak atau menentang tegas pemerintahan Belanda akan dilarang, dimana pemimpinnya akan ditangkap, dipenjarakan atau diasingkan.
Pertumbuhan Partai Politik di Indonesia telah mengalami pasang surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai Politik secara modern. Boedi Oetomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara (public office) di dalam persaingan melalui Pemilihan Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik. Boedi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa. Walaupun pada waktu itu Budi Oetomo belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan Boedi Oetomo sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern.
Partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker yaitu Indesce Partij, yang dilatarbelakangi oleh adanya diskriminasi antara kaum Indo peranakan dan Belanda baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya menyebabkan timbulnya pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo. Lalu mereka bertekad mendirikan perkumpulan yang radikal yang berusaha meleburkan diri dengan masyarakat pribumi. Terutama adanya ancaman yang sama yaitu penindasan kolonial. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.[9]
- Pelarangan di Masa Jepang
Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik dibubarkan. Namun, pendudukan Jepang juga membawa perubahan penting. Meski eksistensi partai politik sebagai suatu organisasi tidak diakui, namun tokoh-tokoh politik masih berperan penting dalam proses mencapai kemerdekaan. Pada masa Jepang-lah didirikan organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh akar-akar di masyarakat. Berbeda dengan peran partai politik pada masa penjajahan Belanda sebelumnya sebagian besar masih sebatas sebagai sebagai penengah, dan perumus ide yang hanya berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik dan komunikasi politik.[10] Partai-partai politik yang ada sebelum kemerdekaan pada umumnya bersifat ideologis serta memiliki fungsi dan program utama untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses politik. Praktis sampai diproklamirkan kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak mengenal partai-partai politik. Demikian juga saat terbentuknya BPUPK dan PPKI oleh pemerintahan Jepang, di mana keanggotaannya di isi oleh tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya merupakan pimpinan partai politik. Sehingga dengan demikian peran para tokoh yang sebelumnya berada dalam partai-partai politik masa Belanda semakin mampu menemukan wadahnya untuk berkontribusi pada rakyat meski “wadah” kepartaian sendiri tidak terwujud : dengan kata lain mereka mengambil peran dalam program-program yang dibentuk oleh Jepang.
- Awal Kemerdekaan Indonesia
Partai politik di Indonesia baru mulai tumbuh subur ketika Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia No. X yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta pada tanggal 3 November1945 dan merupakan usulan dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi tonggak sejarah mengenai mulai berkembangnya partai politik di Indonesia. Isi dari maklumat ini adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia membentuk partai politik.
“Maklumat Pemerintah No. X, 3 November 1945” yang menyatakan bahwa pemerintah menyukai lahirnya partai-partai politik agar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Meskipun demikian, ternyata fungsi dan peranan partai politik mengalami dinamika atau pasang surut sesuai perkembangan sistem politik lndonesia. Pada masa ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Adapun peran partai politik masa ini adalah adalah sebagai sarana perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan melalui cara-cara yang bersifat politis.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang termasuk partai lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional.
- Penutup
Keberadaan partai politik sejatinya ialah yang telah melahirkan demokrasi bagi bangsa ini melalui fakta bahwa mereka itu yang telah memperjuangkan Indonesia dari masa kolonial, sempat terbungkam dan bergerak terselubung di masa Jepang mapun menjadi wadah dinamika pemerintahan di masa awal kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai tonggak penegak independensi bangsa ini, juga menggambarkan keluasan pemikiran para bapak bangsa bagi tumbuh suburnya partai-partai politik dari segala pandangan (paham) yang beredar di tengah masyarakat Indonesia. Pun dalam kondisi Indonesia saat itu tengah mengalami proses kritis mempertahankan kemerdekaan RI dari rongrongan kekuatan asing – dikenal dengan istilah “perang kemerdekaan” – masih pula kemerdekaan berkumpul secara politis diakui keberadaannya oleh pemerintah. Demikian ini sedikit ulasan sejarah untuk dibaca oleh generasi masa kini yang tengah merasakan “angin segar” reformasi dengan “sistem multi-partainya” : semoga dengan banyaknya jumlah partai akan pula dapat memberi kontribusi sama besarnya bagi khalayak luas, bukan sekadar menjadi wadah kepentingan segelintir elit.
Catatan Kaki :
- Harold J. Laski, dalam Muchammad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), 3.
- Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 2008), hlm. 404.
- Jimly Asshiddiqie, dalam Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), hlm. Ix.
- Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008). 710.
- Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir;Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 132.
- Rusli Karim. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 48.
- Poerwanta, Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 35.
- Slamet Muljana, Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 97.
- Rusli Karim. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 18-19.
- Gau Kadir. Dinamika partai politik di indonesia. Jurnal Sosiohumaniora. Vol. 16 No. 2 Juli 2014. hlm.134-135.